Obrolan Pak Sus dengan Tan Joe Hok. Sangat Mencengangkan
*Obituari Tan Joe Hok*
@pmsusbandono
1 Juni 2025
Sejak kemarin, badan terasa _nggreges,_ tak salah kalau siang ini dipakai sekedarnya untuk _power nap_ (tidur ayam). Ketika terjaga, ada berita duka yang mengejutkan. Tan Joe Hok meninggal dunia, tadi pukul 10.52, di Rumah Sakit Medistra.
Meski “zaman _now_” tak banyak orang yang mengenal nama itu, bagi saya, Tan Joe Hok adalah legendaris yang melekat di kepala dan hati saya.
Bagaimana tidak?
Sejak usia 4-5 tahun, nama Joe Hok telah sering saya dengar dari berbagai siaran radio dan media massa. Dia adalah juara tunggal putra All England, pertama kali bagi Indonesia. Seorang putra bangsa (Indonesia) yang namanya terukir di piala kemenangan itu. Tan Joe Hok, kemudian, menjadi “pahlawan”, bagi bangsa Indonesia. Tan Joe Hok adalah bulutangkis dan bulutangkis adalah Tan Joe Hok.
Melompat ke sekian puluh tahun kemudian, saya kembali mendapatkan kesan yang mendalam terhadap tokoh ini.
Suatu siang, sekira 20 tahun lampau, di _lounge_ suatu bank, saya sedang duduk santai menunggu pelayanan dari petugas _customer service._ Seorang laki-laki setengah baya, duduk di sebelah, dan menegur saya. Wajah oriental, badan tegap dan langsing, rambut hitam dan lurus. Tinggi sekira 175 cm.
Meski wajahnya cukup familiar, saya tak berhasil mengingat siapa dia. Tapi obrolan berlangsung hangat dan seru.
Kami mendiskusikan hal-hal yang, saat itu, sedang _in_ di masyarakat. Nada suaranya tegas, penuh percaya diri, tapi tetap ramah.
Intinya, “bapak ini” mendorong saya (kita) untuk tetap optimis dengan negara kita, meski keadaan sedang tidak baik-baik saja.
“Di Indonesia, banyak orang pinter, tapi sedikit yang cinta kepada bangsa dan negara Indonesia”
Saya terhenyak mendengarnya. Sambil menyetujui ucapannya, tak tahan untuk segera memotong kalimatnya.
“Maaf pak, anda ini siapa?”
Dengan nada yang semakin percaya diri, dia langsung menukas.
“Saya Tan Joe Hok”.
Saya langsung berdiri, menghormat kepadanya dan mengulurkan tangan, sekali lagi, untuk menjabat erat genggamannya.
“Pak Joe Hok, saya pengagum anda, sejak 50 tahun lalu”
Dan saat itu saya bertemu dengan idola saya, yang permainan bulutangkisnya, dulu, hanya bisa saya dengar melalui siaran RRI.
“I am proud of you, pak”
Tak usah ditulis kembali apa saja yang telah diukirnya dalam lembaran emas bangsa Indonesia. Tentang kehebatannya, tentang kepahlawanannya, tentang perjuangannya, untuk membela bangsa dan negara ini, di kancah dunia. Bahkan ketika usia negara ini masih sangat muda dan masih “miskin” fasilitas, Joe Hok sering berjuang seorang diri untuk menyabet piala kejuaraan atau medali emas.
Salah satunya adalah saat Joe Hok menjadi anggota tim Thomas Cup Indonesia, tahun 1961 di Jakarta dan merebut pialanya. Segera Joe Hok kembali ke Texas, Amerika, untuk meneruskan studinya. (Joe Hok membiayai sendiri kuliahnya dan berhasil lulus sebagai Insinyur Kimia)
Kemudian, baru disadari bahwa Bung Karno, melalui seorang utusannya, telah mengirim “tanda penghargaan” sebesar USD 1.000.
Suatu jumlah uang yang cukup besar bagi seorang mahasiswa perantauan. Tetapi apa yang dilakukannya?
Melalui Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, Joe Hok mengembalikan uang itu kepada pengirimnya. Ya, si pengirim adalah Bung Karno, Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi.
“Saya sangat menghormati penghargaan dari beliau, tapi banyak anak bangsa lainnya yang lebih membutuhkannya dibanding saya.”
Terus terang, saya tak bisa membayangkan peristiwa seperti itu terjadi saat ini. Bukan mengembalikan “hadiah” yang memang pantas diterima, yang ada adalah mengambil (paksa, sembunyi-sembunyi) sesuatu yang bukan menjadi hak miliknya.
Kembali ke cerita pertemuan dengan Tan Joe Hok, ketika kemudian kami sama-sama meninggalkan bank itu, saya sempat mengajukan satu pertanyaan untuk Pak Tan.
“Apa kata kunci kesuksesan bangsa kita?”
Jawabnya singkat.
_“Perseverance”_
Saya tercenung sekejab dan sambil melambaikan tangan saat mobilnya meninggalkan saya, saya amini ucapannya.
Patriotisme dan semangat pantang menyerah yang dimiliki Tan Joe Hok telah membawa harum nama bangsa. Tak ada kata-kata lain yang bisa menggantikan resep jitu itu.
Seperti yang ditulis oleh seorang sastrawan besar Inggris, Samuel Johnson (1709-1784), bukan kekuatan, kepintaran, kekuasaan atau kekayaan, melainkan kerja keras, ketangguhan dan ketekunan yang menjadi kunci utama keberhasilan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan besar.
_“Great works are performed not by strength but by perseverance”_
*“Selamat Jalan Pak Tan Joe Hok, Pahlawan tanpa tanda jasa, bangsa Indonesia”*
Comments
Post a Comment