Haruskah kembali ke sistem proporsional tertutup?
Blantika poitik Indonesia memang sangat dinamis, bahkan terlalu mudah berubah. Pada 2009, Indonesia sudah punya sistem pemilihan calon legislatif dengan sistem proporsional terbuka, yang sebelumnya tertutup. Runtuhnya rezim orde baru, demokrasi langsung pun dimulai dengan pemilihan presiden secara langsung. Pertarungan pertama dengan sistem pilpres langsung adalah munculnya Soesilo Bambang Yudhoyono alias SBY cabagai capres 2004.
SBY bersama Partai Demokrat berjaya. SBY memenangkan pemilihan presiden dua kali berturut-turut. Pada rezim pemerintahan SBY disetujui pula presidential treshold minimal 20 persen sampai saat ini. Yang menarik adalah ada wacana untuk menurunkan presentase presidential treshold di bawah 20 persen, bila perlu 0 persen, sehingga semakin banyak peluang kandidat partai yang bisa dicalonkan, tanpa harus koalisi.
Belakangan ini sistem proporsional terbuka yang telah berjalan sejak 2009 diwacanakan agar kembali ke sistem proporsional tertutup. Baik sistem terbuka maupun tertutup ada plus minusnya, juga punya kebaikan dan keburukannya, tergantung bagaimana sudut pandang, yang diakibatkan dari praktek para politisi, maupun partai yang ada saat ini.
Salah satu alasan agar kembali ke sistem proporsional tertutup adalah agar biaya pemilu legislatif tidak berdampak pada keluarnya biaya besar dari masing-masing caleg untuk kampanye. Dengan sitem tertutup, para pemilih hanya akan mencoblos gambar partai, dan partai yang bersangkutan yang menentukan siapa caleg yang akan dikirim ke DPR-D dan DPR RI di Senayan.
Sedangkan dengan sistem proporsional terbuka, para pemilih punya waktu untuk mengenal para caleg idaman mereka, setelah melihat mereka kampanye, iklan di televisi, medsos, baliho dan sebagainya. Para caleg pun punya peluang untuk mempromosikan programnya, jika nanti terpilih.
Akibat dari sistem proporsional terbuka, para caleg akhirnya keluar biaya besar untuk kampanye dengan segala strategi dan pernak perniknya. Menurut pihak yang setuju dengan sistem tertutup, hal itu bisa dicegah.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa politik uang yang biasanya terjadi pada sistem proporsional terbuka, termasuk "serangan fajar", ternyata praktek politik uang juga bisa terjadi pada sistem proporsional tertutup. Politik uang akan terjadi pada internal partai.
Kenapa begitu?
Anggota partai yang ingin punya peluang besar untuk menang, mereka akan kongkalikong dengan elite di internal partainya, agar namanya diletakkan pada nomor urut kecil, misalnya nomor urut satu, dua atau tiga. Dan itu ada harganya.
Terlepas dari itu semua, apa sih perbedaan dan keunikan dari sistem proporsional tertutup dan terbuka?
Pada tayangan berikut ini, seorang politisi terkenal, HM. Darmizal akan mengupas tuntas hal tersebut. Setelah usai menyaksikan bagaimana ulasan Ketum ReJo yang ramah dan lugas dalam menyampaikan opininya ini, silahkan berikan komentar anda.
Comments
Post a Comment