Kembali kita menikmati karya tulis PM Susbandodo yang disapa para sahabat dan kerabat dengan panggilan Pak Sus. Pada kesempatan ini menjelang Hari Raya Idul Fitri 1443 H, Pak Sus sepertinya teringat lagu "Lebaran Sebentar Lagi", karya indah yang juga dipopulerkan oleh Band Indonesia yang legendaris, Bimbo.
Banyak hal yang terjadi selama bulan yang disucikan umat Islam, Ramadhan, di seluruh dunia. Untuk Indonesia banyak hal yang istimewa di bulan puasa maupun di Hari Raya Lebaran. Pak Sus yang terkenal sebagai narasumber dalam berbagai seminar, bedah buku, pembicara di radio, dan tentu saja dengan karyanya berupa buku-buku yang inspiratif.
Yuk simak tulisan Pak Sus yang punya banyak sahabat dari lintas agama, sosial dan budaya.
PM Susbandono alias Pak Sus, penulis buku & pakar Human Capital (Image: mlc.co.id)
*Lebaran Sebentar Lagi, _Berkat_ Berdatangan Kembali*
@pmsusbandono
30 April 2022
_“Lebaran sebentar lagi_
_Berpuasa sekeluarga_
_Sehari penuh yang sudah besar_
_Tengah hari yang masih kecil_
_Alangkah asyik pergi ke masjid_
_Solat Terawih bersama-sama”_
Lagu gubahan Bimbo di atas dirilis tahun 2006. Nada manis menelusup ke dalam telinga. Liriknya sederhana dan penuh pesan bermakna.
Belakangan, lagu itu dinyanyi-ulang oleh grup Band Gigi (2015). Tentunya dengan nada nge-rok, hingga makin meresap di kalangan anak-anak muda.
Suara Bimbo atau Gigi sama apiknya. Saya menyukai keduanya. Lebih-lebih bila didengarkan menjelang Lebaran tiba. Ketika puasa tinggal sebentar lagi, sementara kegembiraan Hari Raya terbayang di depan mata. Maka rongga dada dipenuhi berbagai rasa bahagia.
Bimbo menggunakan kata “Lebaran”. Mungkin agar mudah diresapkan oleh siapa saja yang mendengarnya.
Pesan Bimbo memperkuat perspektif KH Zainuddin MZ. Dalam tausiahnya yang tayang di youtube dan berdurasi hampir 3 jam, “Da’i sejuta umat” itu menjelaskan dengan bijaksana sekaligus menyejukkan,
_“Lebaran adalah tradisi yang setiap kita boleh ikutan._ _Siapa saja. Puasa atau tidak, boleh (merayakan) Lebaran._
_(Ber)ibadah Ramadhan atau tidak, boleh (ber)Lebaran, tapi tidak Idul Fitri._
Itulah mengapa, ketika Lebaran sebentar lagi, maka spirit yang terbangun adalah semangat kebersamaan. Tak peduli apa sukunya, tingkat sosialnya atau bahkan agamanya.
Saya (sama sekali) tak canggung ketika di hari istimewa itu, menerima uluran tangan saudara, tetangga, teman atau kerabat. Tentunya sambil saling mengucapkan “Selamat Lebaran” atau “Selamat Hari Raya”. Biasanya, ditambah :
_“Mohon maaf lahir batin”._
Saat Sholat Ied usai, di halaman dan gang depan rumah kami, banyak tetangga bertamu dan bertemu. Saling silaturahmi dan bermaaf-maafan. Biasanya sampai tengah hari, ketika masing-masing kemudian mempunyai acara-acara sendiri.
Saya percaya, tak ada yang bertanya, mengapa “pesta” itu ada di sana. Sekali lagi, itulah wujud kebersamaan dalam merayakan Lebaran.
Idul Fitri mempunyai kesan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Itu ditandai dengan beberapa sinonim yang dimilikinya.
Orang Jawa menyebut _"Bada"_ (Dibaca : _Bodo_ atau _Bakdo_). Sementara orang Sunda menamakan _Boboran._ Lengkapnya _"Boboran Siam"._ Bahasa Indonesia, menyebutnya Lebaran. Di daerah-daerah lain, Idul Fitri juga diungkapkan dengan kebiasaan setempat yang spesifik.
Meski tidak merayakan Idul Fitri, tetapi nuansa pesta ini selalu saya rasakan dengan sungguh-sungguh.
Lebaran adalah harapan. Lebaran adalah ampunan. Lebaran adalah kerinduan. Lebaran adalah kemanusiaan. Disamping, tentu saja, Lebaran adalah keceriaan.
Ada satu lagi tradisi yang mewarnai Idul Fitri di Indonesia. Sudah berlangsung sangat lama, sejak sekian puluh tahun lampau.
Itu adalah tradisi “mengirim makanan kepada orang dekat”. Orang Jawa menyebutnya _“munjung”._ Konon berasal dari kata “berkunjung”. _Munjung_ dipercaya sebagai pengganti kehadiran si pengirim makanan, yang tak sempat datang ke rumah.
Tradisi mulia itu masih berlangsung sampai saat ini.
Saat malam takbiran, Bu Hajah Muroh mengirim beberapa jenang ke rumah kami. Beliau munjung sambil mengingatkan kelezatan makanan tradisional Betawi.
Sementara Almarhumah Bu Nasum, dulu, tak pernah absen mengutus puterinya untuk mengirim ketupat dengan _pepakan_ lauk-pauk.
Bu Eddy juga sama. Meski sekarang sudah pindah ke kampung lain, beliau masih _munjung_ khas Lebaran di rantang susun yang komplet.
Tradisi _munjung_ ini berlaku dua arah. Ada kiriman dari sana, dan dibalas dari sini. Utusan dari kedua rumah kadang bertemu di jalanan. Tentunya tak terjadi pertukaran makanan di perempatan atau pertigaan. _Munjung_ harus sampai di rumah masing-masing yang dituju.
Tradisi yang kaya, bermakna dan mulia bukan?.
_“Maka, Nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”._
Ada satu istilah lagi yang perlu dicatat.
Untuk makanan yang dikirim saat _munjung,_ orang Jawa menyebutnya _“berkat”._ Tak heran kalau ada _“sego berkat”, tumpeng berkat, jadah berkat_ atau _ingkung berkat._
_Munjung_ tak hanya sekedar mengirim makanan, yang tentunya lezat, tapi juga mengandung _“berkat”_ atau “berkat” atau “berkah”.
Menyantap _berkat_ tidak hanya membuat perut kenyang tapi juga menerima doa keselamatan dari si pengirim.
Tak bakalan ada habisnya menulis tradisi Lebaran yang kontekstual dan penuh dengan kearifan lokal. Itulah tradisi Nusantara, yang harus dilestarikan sepanjang masa.
_“Selamat Idul Fitri. Selamat Hari Raya Lebaran”._
_"Wilujeng Boboran Siam. Sugeng Riyadin Bakdo"._
_"Nyuwun Gunging Pangapunten Sedoyo Kalepatan Kawulo”._
Setelah membaca tulisan bernas dan indah dari Pak Sus, yuk simak Aksi Indonesia Guyub Berbagi Takjil, yang digelar sangat seru pada 29 April 2022 di sekitar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Comments
Post a Comment