Followers

Alasan Presiden Jokowi Pilih Budi Gunadi Sadikin Sebagai Menkes Menurut Perspektif PM Susbandono

Sepertinya banyak yang terkejut dengan pilihan Presiden Joko Widodo ketika memilih Budi Gunadi Sadikin alias BGS sebagai Menteri Kesehatan saat melakukan reshuffle kabinet. Padahal BGS bukan seorang dokter. Inilah keunikannya yang mungkin menarik perhatian PM Susbandono, seorang penulis ternama yang juga nara sumber yang sering memberikan pencerahan di berbagai seminar, workshop dan radio.

PM Susbandono, penulis, pembicara dan nara sumber seminar & radio terkenal (perspektifbaru.com)

Dengan keahlian serta pengalaman panjang PM Susbandono yang akrab dengan sapaan Pak Sus ini selalu menulis tentang hal-hal menarik terkait kepemimpinan, human resources dan aspek lain tentang kehidupan dengan perspektif yang sangat kekinian. 

Demikian pula artikel yang ditulis Pak Sus berjudul Budi Gunadi Sadikin. Meskipun judulnya pendek, saya yakin pasti ada sesuatu yang bisa disorot dan patut menjadi renungan di awal 2021 yang penuh tantangan ini. 

*Budi Gunadi Sadikin**/

@pmsusbandono

1 Januari 2021

  _*/Teriring ucapan “Selamat tahun Baru” bagi sahabat-sahabat praktisi, pegiat dan pengamat Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia._

 Hari-hari terakhir sebelum tahun 2020 berakhir, beberapa berita mengguncang dunia perpolitikan dalam negeri.  Salah satunya adalah reshuffle Kabinet Indonesia Maju, 2 hari menjelang Hari Natal tiba.

 Di antara 6 menteri baru, penunjukan Budi Gunadi Sadikin (BGS) sebagai Menteri Kesehatan (Menkes)  paling menyita perhatian banyak orang. Menkes  pertama di Indonesia yang bukan dokter. Pakem telah dibongkar, leader sudah duduk di kursinya. Insya Allah, masyarakat kesehatan Indonesia mampu memanfaatkan peluang ini semaksimal mungkin.

 Penunjukan figur non-dokter menjadi Menkes sebetulnya bukan sesuatu yang luarbiasa.  Analoginya, sudah ditunjukkan oleh Apple dan Google.

Presiden Jokowi ketika memperkenalkan Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Kesehatan baru setelah memperkenalkan Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial di Istana Negara, Jakarta (merdeka.com)

 Mulai 2  tahun lampau mereka tak lagi mensyaratkan “sarjana” untuk menjadi pegawainya.  Konon,  IBM juga mempunyai kebijakan serupa.  Dunia mulai merobohkan sekat-sekat  perbedaan, termasuk ilmu pengetahuan.    

 “Perusahaan beken macam Apple dan Google merekrut pegawai yang bisa mengerjakan tugas yang diperlukan, tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki gelar sarjana atau tidak.

 ‘Perusahaan kami, seperti yang Anda tahu, didirikan oleh mahasiswa yang drop-out’, ungkap CEO Apple Tim Cook”. (“Tak Perlu Jadi Sarjana untuk Kerja di Apple dan Google”,

Kompas.com-12/04/2019).

 Dengan konteks yang berbeda, sejak 20 tahun lampau, Medco Energi, perusahaan perminyakan swasta nasional terbesar di Indonesia, membuka program Graduate Engineering Trainee tanpa melihat latar belakang pendidikan  di Universitas.  Star Energy, perusahaan lainnya, melakukan hal yang sama beberapa tahun kemudian.

 Insinyur dari jurusan apa pun silakan melamar.  Kesesuaian values menjadi kunci utama untuk lolos.

 “Recruit character, develop competencies”.

 Tak aneh, kalau kemudian Drilling Engineer handal berlatar belakang Teknik Industri, Listrik atau Kimia.

 Itulah kisah pembelajaran masa kini, yang berangsur berubah. Metodologi pengembangan SDM yang disusun 5 tahun lampau sudah tak cocok dengan sikap dan kebutuhan anak-didik, anak-buah atau anak-kandung, saat ini.

 Cornel, siswa kelas 1 SMP, dengan usia sekira 12 tahun, “tiba-tiba” mahir bermain piano, nyaris tanpa guru formal.  Dentingan gawai terdengar merdu dimainkan, berkat usahanya menonton YouTube.  Bandingkan, “nasib”  saya dulu, ketika 2 kali seminggu harus bertemu guru piano privat berlama-lama dan  nyaris tanpa hasil.

 Proses pembelajaran murid di kelas formal dan pengembangan pegawai di ruang kerja saat ini tak sama dengan kehidupan kaum digital immigrant. Bila para guru dan pengelola Manajemen SDM masih menggunakan cara-cara lama, pembelajar akan ketinggalan dibanding “anak ingusan” seperti Cornel yang menggunakan caranya sendiri. Modalnya minat, semangat dan niat yang  kuat. Cornel  beruntung karena tersedia sarana untuk menimba detil dan teknis bermain piano melalui kemajuan teknologi yang melejit demikian pesatnya

 Untung, secara bertahap masyarakat Indonesia mulai rela menerima “cara baru” dan mengubah mindset dan sikapnya.  Kisah seorang berpendidikan formal Fisika Nuklir, berpengalaman Bisnis dan Perbankan menjadi “bos” para dokter seluruh Indonesia menjadi pemicu untuk menyadarkan masyarakat akan mengentalnya borderless civilization.

 Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berkemampuan tidak terlalu dalam tapi luas, dibanding bidang sempit tapi jauh menukik ke dasar lautan. Sinergi mutlak dibutuhkan, sesuai dengan segregation of duties yang dibutuhkan.

 “Spesialis mendalami hakekat dan mengembangkannya, generalis mengelola dan memimpin prosesnya”.

 Pembelajar perlu dibekali pemahaman dengan “proses terjadinya” dan “konteks yang melatar-belakanginya”.  Selanjutnya, silakan bekerja keras untuk menggali materi yang lebih implementatif.

 Ini jauh berbeda dengan pembelajaran yang dulu saya dapatkan.  Banyak materi dijejalkan, dengan harapan, siapa tahu mampu menyelesaikan (banyak) persoalan, yang mungkin timbul.  (RP Yoh. Haryatmoko SJ, “Jalan Baru Kepemimpinan dan Pendidikan Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif”, 2020).   

 Survei sederhana  yang saya lakukan terhadap 32 Dokter kenalan menunjukkan bahwa 81% responden berpendapat “Menkes tidak harus seorang Dokter, asal sarat dengan kompetensi manajerial dan visioner”.  Hanya 1 Dokter (3%) yang serta-merta menolak, sedangkan sisanya (16%) berdalih “wait and see”.  Mantan Menkes, Siti Fadilah Supari (2004-2009) dan Nafsiah Mboi (2012-2014) memberi endorsement hasil survei dengan nada positif.  

 “Menkes tidak harus seorang Dokter, meski dengan syarat-syarat yang menantang”.  (Liputan6.com, 29 Desember 2020)

 Fenomena BGS mengingatkan saya akan Jack Ma yang wanti-wanti berpesan agar pengembangan SDM dilakukan lebih untuk menanamkan values. SDM perlu dilengkapi dengan kemampuan (kompetensi) “learning ability” dan “adaptability skill” yang persisten dan konsisten.  ("Man versus Machine, Vlog, Jack Ma).

 Manusia zaman kini dituntut menjadi pembelajar dan mampu menyesuaikan diri dengan tepat terhadap “dunia” yang berubah (sangat) cepat.  Itulah calon pemenangnya. 

 Cornel memiliki keduanya  sebelum dia bolak-balik membuka gadget sambil memencet-mencet pianonya dengan lagu yang awalnya tak jelas nadanya. Sarjana Teknik Industri atau Kimia harus banting-tulang sebelum akhirnya menyandang predikat ahli perminyakan yang mumpuni.

 Biar lebih komplet, pendapat Ma perlu dikombinasikan dengan Gladwell.  Bila ingin sukses sejati, tanamkan nilai ”kerja keras” dan “pantang menyerah”.  (“Outliers – The Story of Success, Malcolm Gladwell, Penguin Psychology Books, New York Times Bestseller, 2008).

 Itu adalah 2 dari 6 syarat yang menjadi kata kunci selain bakat, cerdas, dukungan lingkungan dan siap untuk beruntung.

 BGS baru seminggu menjabat.  Meski 2 pidatonya cukup memukau, belum waktunya orang bisa menilai gebrakannya.  

Cornel baru setahun asyik dengan pianonya. Belum semahir Ananda Sukarlan atau Richard Clayderman. 

 Tapi, bukan itu maksud tulisan ini.

 BGS dan Cornel  memberi impresi yang kuat.  Mereka mengirim pesan yang tepat. Dengan proses pembelajaran seperti itu, keberhasilan mereka hanya masalah waktu belaka. Saya percaya itu, karena semua manusia  sangat kompeten.

 “Humans are extremely competence”. (“Psychology”, Margaret W. Matlin, Harcourt College Pub., 1992) 

Nah. Artikel Pak Sus bisa dikatakan begitu singkat, namun mampu memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang berbagai aspek. Kita bisa melihat makna artikel tersebut dari segi manajemen, leadership, dan sah juga dipandang dengan kaca mata politik. 

Mungkin tayangan berikut ini juga bisa menjadi bahan renungan menarik di awal 2021 ini ketika Indonesia sedang menghadapi aneka tantangan dan peluang yang tersembunyi karena situasi global yang terganggu karena pandemi global gara-gara Covid-19. 

Bagaimana pendapat anda?


Comments

Total Pageviews

Trending Topic

Testimoni Istri Pendiri Partai Demokrat Sebelum Kubu Moeldoko Konpres di Hambalang

125 Orang Tewas: Ricuh Pasca Laga Arema FC VS Persebaya

Pernikahan Kaesang & Erina | Apa Dampaknya Untuk Indonesia?

KPK Panggil Anies Baswedan

Capres 2024 Sudah "Nyata" Ada atau Masih Misteri?

Progress of Jakarta MRT project

Special massage services at a barbershop in Jakarta

Nasib Jakarta Pasca Anies Baswedan Ditentukan PLT atau Gubernur Baru Hasil Pilkada 2024?

Discover Reog Ponorogo an attractive dance in Indonesia

Habib Kribo Bersuara Lantang Soal Pilpres & Capres 2024

Real Information